Tak Tahu (malu atau diri)
Part 4 (Cerita mba Rahma)
Warning 18+
Apa pernah ada seorang teman yg bercerita tentang perkenalannya dengan orang ketiga?
Emmm, jarang kan?
Masih tentang mba Rahma yg entah sampai kapan jari ini mengetikkan kisahnya. Bukan demi ketenaran, mba Rahma hanya enggan menjawab banyaknya pertanyaan yg mengantri. Satu dijawab, maka akan terbuka sayatan dihatinya. Makin banyak mba Rahma membuka suara, makin sulit pula merekatkan kembali sisa reruntuhan hati yg kian sulit diraih.
Dengan tulisan ini, mba Rahma tidak perlu membuang banyak sisa tenaganya karena pertanyaan takkan pernah habis sebelum ini selesai. Ah tidak juga, pasti akan datang pertanyaan lain lagi. Kenapa, kok bisa, gimana sih, kapan dan sederet kata tanya yg tidak akan pernah habis untuk memuaskan hasrat keingintahuan mereka.
Sudah sudah, mari membuka cerita.
Sekitar enam hari lalu saat mba Rahma masih bisa berfikir dengan kepala dingin, dirinya mencoba menyapa Ita. Sang orang ketiga yg sejak awal menusuk nya bersama mas Danu. Meski begitu, mba Rahma berusaha untuk menyambutnya dengan baik. Tak menghiraukan hatinya yg sedang kalut, ia tekadkan untuk tetap tegar didepan badai yg mulai menerjang.
Obrolan pertama masih terlihat santai, bahkan terlalu santai untuk sekelas menanggapi orang ketiga. Ada sebuah permintaan maaf dari Ita tertulis disana meski harus dipancing dulu, mba Rahma juga memberi dukungan dan menasihatinya. Obrolah hari pertama berakhir dengan baik. “Ah, aku bisa kuat kan?” mba Rahma masih mencoba meyakinkan diri bahwa dirinya bisa kuat dengan keadaan ini. Toh ia juga ikut memberi pecut pada mas Danu jadi ini konsekuensi yg harus mba Rahma tanggung. Kurang lebih seperti itu isi dalam kepala mba Rahma.
Obrolan hari ke dua.
I : Ita
R : mba Rahma
I : “Mba, mba Rahma mau rawat anakku ngga nanti kalau udah lahir?”
R : “Iya, kamu ngga usah kawatir. Aku bakal rawat seperti anakku sendiri”
I : “Mba Rahma kapan pulangnya?. Sedangkan aku perkiraan lahiran bulan Desember, aku bingung nanti kalau pas lahiran berbarengan mba Rahma pulang trus aku gimana?. Mas Danu pasti jemput mba Rahma, aku ngga mau lahiran sendirian tanpa mas Danu karen aku juga ngga mau ngabarin ortu pas lahiran.”
R : “Iya nanti bisa diatur waktunya. Kamu kan udah pernah lahiran, dan kamu juga ngga akan merasakan sakit. Itu udah takdir Allah. Lain cerita kalau kamu hamil karena hubungan resmi, sah maka Allah akan kasih nikmat yg luat biasa tak ternilai harganya sebagai seorang ibu”
“Kamu jangan terlalu manja, harus kuat, tegar, ngga selamanya bisa bergantung sama laki-laki. Belum tentu apa yg kita pertahankan menjadi milik kita. Semua hanya titipan, kalau sudah diambil pemiliknya kita bisa apa?”
I : “Maaf sebelumnya mba, kok kaya menyindir halus gitu sih?. Ya aku tahu, kamu dan mas Danu ngga mungkin pisah, aku juga ngga mungkin bisa jadi istri mas Danu. Tapi seharusnya jangan nyindir halus gitu mba, maaf aja aku lagi ngrasa ngga karuan, mual, pusing, mungkin bawaan bayi”
(Ihh, pengen tak unyel unyel rasane)
R : “Ya itu resiko kamu mau pacaran sama mas Danu yg sudah punya anak istri. Aku memang pernah menyuruhnya menikah lagi tapi bukan menghamili kamu. Terus aku harus ngomong yg gimana?. Aku kan nyaranin kalian menikah bukan berpisah. Dan setelah aku pulang nanti, terserah kalian mau dilanjutkan atau tidak. Yg penting pernikahan ku dan mas Danu baik-baik saja.”
I : “Ya memang aku salah, tapi kan aku menjaga mas Danu daripada jajan sembarangan. Aku juga ngga kepengin hamil. Padahal udah KB, tapi tetep jadi. Udah minum obat apapun tetep ngga mau gugur, ya apa boleh buat mba. Aku juga bingung”
“Terserah kalau mas Danu mau milih mba Rahma, aku mah slow aja. Tapi aku ngga terima aja dibilang kaya gitu, jadi jangan ngrasa menang. Paham. Jujur aja hamil kali ini bawaannya ngga bisa dikasarin, kesenggol omongan apalagi disindir. Hawanya lagi pengen dialusin. Memang hakmu mau ngomong atau bikin story apa di medsos, tapi jangan ngomong yg kaya gitu ke aku.”
Tidak perlu dijelaskan apa arti dari jajan kan?. Jajannya orang dewasa sudah tentu bukan jajan recehan kaya gorengan, tapi bisa jadi apem 80 juta dipinggir jalan. Eh. Dan Ita adalah solusi terbaik saat itu, karena mereka berdua saling memberi tanpa merasa dirugikan.
Nah sampai sini aku jadi bingung nih, apa harus kutulis semua obrolan mereka?. Soalnya puanjang dan bikin pegel hati. Mba Rahma masih yg gitu gitu aja, baik hati, kalem, kurang galak, nyindir juga halus, malah masih mau menasihati. Mulai dongkol tapi tidak terlalu diperlihatkan.
Ya memang, waktu itu mba Rahma berfikir kalau dirinya masih mampu menahan deburan ombak yg makin mengencang. Masih yakin dengan kepercayaandirinya bisa bertahan dan belajar menerima pelakor jadi calon adik madunya. Masih ingin berjuang dengan apa yg mba Rahma sebut dengan belajar iklhas atas apa yg pernah ia ucapkan. Tapi dengan keadaan yg seperti ini apa mba Rahma akan mampu?. Deburan makin dahsyat, bahkan sudah terkesan tak tahu malu atau tak tahu diri?. Mana yg cocok?.
Bukankah seharusnya yg lebih galak adalah mba Rahma?. Bukankah seharusnya mba Rahma juga yg minta lebih dimengerti?. Ah entah lah. Apa memang semua orang ketiga seperti itu?. Kukuh pada pendiriannya sekalipun ia berdiri di barisan yg salah?.
Baiklah mari lanjut ke obrolan berikutnya, sepertinya aku tak perlu banyak berkomentar. Biarkan tulisan dibawah ini mewakilinya. Ini adalah ringkasan dari 52 foto screenshot yg berisi obrolan panas antara mba Rahma dengan Ita.
I : “Mba Rahma ngomporin apa aja ke mas Danu?. Sampai mas Danu marah marah terus ke aku. Selama aku hubungan sama dia baru kali ini dia beginiin aku”
R : “Aku ngga pernah ngomporin apa-apa ke mas Danu, terserah dia mau ambil keputusan apa”
I : “Aku disuruh nrima, udah nrima. Eh ada aja yg katanya ngga nurut ini itu lah. Ku kira ya udah nurut tapi tetep aja ngga dipandang baik. Aku kalau ngga diduluin ya ngga bakal nduluin mba. Tapi mas Danu bawaannya slalu marah marah ke aku, dia maunya aku nurut. Ntar kalau udah nurut ya dibanting. Dia aja ngga nurut ke aku, ya egois namanya”
R : “Ya kamu berubah jangan ngeyelan, mas Danu ngga bakal suka. Trus coba koreksi lagi apa kesalahannya. Minta maaf bukannya ngomel-ngomel terus. Dan kamu juga permintaannya cuma satu itu terus *hohohiho* (hubungan badan). Kamu juga jangan hiper se* jadi ngga ketagihan terus, kalau emang cuma minta itu aja banyak kok laki-laki lain”
I : “Sekarang dia bilang kaya gitu, dari dulu kemana aja?. Sorry ya aku ngakak. Dari dulu ngajakin kemana aja sama aku?. Banyak laki-laki lain kalau aku mau, tapi nyatanya aku cuma satu”
R : “Aku lebih percaya suamiku dari pada kamu. Ya syukur kalau gitu, aku kan jadi ngga ketularan penyakit. Mas Danu cintanya sama aku, kamu cuma buat pelampiasan. Sekarang tinggal kamunya tau diri ngga. Kalau kamu sabar nanti juga dia bisa cinta sama kamu?”
I : “Kalau ngga cinta, ngga mungkin dia segitunya ke aku, mau kenal keluarga dan saudaraku. Ngga mungkin aku cuma jadi pelampiasan. Dan sabar itu ada batasnya mba, aku lagi hamil bukannya di halusin malah dibentak-bentak terus. Kalau bukan anaknya ya mana mungkin aku minta dimanja”
Hhhh....
Apa harus sebangga itu jadi pelakor?.
Aku belum bisa nulis semuanya gaes. Terlalu bikin esmosi. Kalian gedek ngga sih bacanya?.
Kalau Ita saja bilang sabar ada batasnya, lalu bolehkah mba Rahma bilang sudah habis batas kesabarannya?. Boleh banget kan?
Sampai disini dulu ya gengs, aku mau meredam pikiran dulu. Merangkai kata biar berurutan dibacanya. Ini baru awal dari klimaks...
To be continue...
Komentar
Posting Komentar