Menemukan Karakter Ibu Profesional
Misi 6
Di misi kali ini kayaknya tidak bisa cerita panjang lebar deh. Keadaan memaksaku untuk memperbanyak istirahat dan memulihkan tenaga. Rasanya bahkan sudah malas melirik HP apa lagi kalau harus mengetik berlama lama, ogah sekali karena jari jari dan tanganku yg mulai melemas. Ini karena nenek yg aku rawat kakinya sudah sama sekali tidak ada tenaga, aku tidak sanggup jika harus membopong sendirian, berduapun masih sering kewalahan. Hiks.
*********
Setiap orang pasti punya tantangan tersendiri dalam berproses dan menjalani peran dalam kehidupannya. Tidak selalu sama antara satu dan yg lainnya karena kita ini individu yg unik dengan ciri khasnya masing masing.
Bicara soal tantangan dalam berproses dan berperan, saat ini aku masih saja berkutat dengan over thingking, kurang PD dan ragu-ragu. Ya, ini semua terbentuk karena trauma di masa kecil yg terbawa sampai aku menikah bahkan punya satu anak saat ini. Aku masih saja terbelenggu dengan inner child yg belum sempat aku selesaikan. Aku menjadi orang yg terlalu banyak berfikir saat akan melakukan sesatu atau bahkan memikirkan hal-hal yg seharusnya tidak perlu dipikirkan. Senang memendam sendiri apa yg aku pikirkan, kurang PD dalam hal apapun sehingga jatuhnya menjadi ragu-ragu untuk menentukan sesuatu, bahkan aku tidak bisa secara gamblang mengutarakan apa yg aku pikirkan.
Menjadi orang yg sedikit bicara dan cenderung introvert, padahal dari dalam diri menolak itu semua. Aku jadi sering bertengkar dengan diriku sendiri saat memikirkan sesuatu.
“Apa harus ku ceritakan ya?, nanti kalau tidak direspon gimana?, nanti kalau responnya beda dengan yg ku harapkan giman?, ah kayaknya apa yg nanti aku bicarakan ngga penting deh”
Ribuan pertanyaan yg menghantam pikiran selalu sukses mengurungkan niatku membuka suara. Mengubur kembali rangkaian kata yg sebenarnya sudah kususun rapih. Dan aku belum pernah selesai dengan dilema itu. Aku selalu kembali bertanya dan berbicara pada diri sendiri.
Sampai pada saat sudah menikah dan punya anak seperti sekarang ini, aku semakin merasa bahwa aku belum bisa menjadi istri dan ibu yg baik. Yg bisa menjalankan peran sesuai dengan fitrahku sebagai seorang wanita. Terlebih dengan keadaanku saat ini yg bekerja jauh dari anak dan keluarga, membuatku makin merasa tertinggal jauh bahkan dari wanita muda yg baru saja menjalani proses menjadi seorang ibu.
Aku yg masih kurang bersyukur ini terkadang marah pada diri sendiri karena tidak bisa membersamai anak yg seakan jadi salah asuhan (orang tuaku). Aku tidak bisa mengarahkan secara langsung padanya (anakku), membentuk karakter baik untuknya. Dan ini terkadang membuatku frustasi karena akan jadi tantangan besar saat aku pulang nanti, beberapa minggu lagi.
Dari sinilah aku bertemu dengan Institut Ibu Profesional yg aku rasa bahwa aku harus ada didalamnya, menjadi salah satu Ibu yg Profesional dengan segala perannya. Maka ku putuskan untuk selesai dengan diriku lebih dulu agar nantinya bisa fokus melatih diri untuk berperan menjadi ibu, istri serta pribadi yg produktif dan berdaya guna untuk keluarga.
Untuk itu tentu saja aku tidak boleh begini terus, aku harus keluar dari zona yg telah membelenggu siapa diriku yg sebenarnya.
Seperti yg mba Riefki Amalia ceritakan di kisahnya (materi) bahwa inner child itu sejatinya bukan untuk dilupakan tetapi untuk dimaafkan jika memang sangat menyakitkan,
“forgiven not forgotten”.
Aku juga ingin menaklukkannya tanpa harus melupakan karena ingatan trauma inilah yg selalu menguatkan ku untuk bertahan dan terus berusaha menjadi lebih baik lagi. Dan pada akhirnya nanti, aku bisa lebih bahagia dalam membersamai anak dan suamiku. Bisa menjadi pribadi yg jauh lebih baik, lebih produktif dari aku yg sebelum nya.
Dibalik inner child yg membelenggu ku, aku sebenarnya orang yg sangat aktif. Aku selalu senang dengan sesuatu hal yg baru persis seperti yg mba Diyah Amalia ceritakan di kisahnya. Aku senang sekali belajar banyak hal ini dan itu, apa saja yg bisa membuatku menjalankan sel-sel otakku. Tapi karena kurangnya percaya diri dan ragu-ragu yg selalu bergelayut inilah yg membuat ku sering berhenti di tengah jalan. Tidak selesai pada satu hal entah apapun itu alasannya.
Dan benar saja apa yg dikatakan mba Diyah Amalia bahwa,
“Belajar karena butuh, motivasinya lebih kuat. Akan mudah pula untuk mempraktekkan ilmunya. Karena, ilmu yang tidak dipraktekkan, bagaikan pohon tak berbuah.”
Rasa ingin mencoba banyak hal ini justru membuat fokusku pecah. Aku tidak menemukan satu pun hal yg harus aku prioritaskan untuk dituntaskan, padahal aku mudah beradaptasi dan mudah belajar banyak hal. Menjahit misalnya. Waktu itu aku antusias sekali untuk belajar. Belajar secara praktek tanpa melalui pelajaran teori, tutor hanya sekedar memberi contoh saja. Ya, aku belajar langsung di konveksi. Mulai belajar menjahit dengan kain perca seadanya lalu dalam beberapa minggu aku langsung disuruh terjun praktek menjahit gamis dan kemeja tanpa tau proses membuat pola dan pemotongan bahan. Disana aku dan teman-teman hanya menyambung potongan-potongan pola bahan sampai menjadi satu potong kemeja atau gamis jadi siap pakai.
Saking fokusnya, akhirnya dalam 3 bulan aku sudah bisa menjahit 7 gamis dalam dua hari. Untuk kemeja yg nenurutku lebih sulit cuma bisa 4 atau 5 potong saja dalam dua hari. Tapi sayangnya saat keterampilan mulai terasah, aku harus menyudahi nya. Ada hal yg harus lebih dulu diprioritaskan dan tidak bisa di tunda. Kesehatan ayahku memintaku untuk pergi jauh meninggalkan anak dan keluarga. Bukan karena di Indonesia tidak ada pekerjaan, tapi nominal yg aku kejar waktu itu karena dibutuhkan dengan segera. Dan Alhamdulillah sekarang ayah sudah sembuh.
Selain keluarga, aku juga harus punya hal lain yg patut diprioritaskan, dipelajari sampai tuntas sendiri. Agar nantinya ilmu yg ku dapat tidaklah setengah setengah sehingga aku tidak segan untuk berbagi kepada yg lainnya. Lalu akhirnya aku juga bisa menemukan passion ku seperti yg diceritakan mba Alisa Gumala. Meski sampai saat ini aku masih mencari passion itu karena aku memang belum benar-benar terjun ke dunia ku di rumah.
Jujur saja, awal masuk perkuliahan di IIP ini aku sempet minder. Aku merasakan hal yg sama dengan mba Lisa saat itu. Bedanya, mba Lisa punya bekal ilmu yg cukup untuk melalui perkuliahan. Sedangkan aku, seperti ngambang. Antara punya dan tidak punya bekal. Akhirnya sederet pertanyaan menggantung di awang awang meminta jawaban yg aku sendiri belum punya gambaran harus ku jawab apa pertanyaan itu.
“Aku bisa berbagi manfaat apa ya? Apa bakatku yang bisa kugunakan untuk menebar kebermanfaatan? I think, nothing special about me.” -Alisa Gumala-
Aku tidak (belum) punya keahlian khusus, tidak (belum) punya bakat khusus dan tidak (belum) juga punya pengalaman khusus. Hanya sebatas pengalaman merantau di negri orang. Aku juga masih berputar putar dengan rutinitas yg tidak ada tujuan pasti sehingga aku tak tergugah untuk memprioritaskannya. Bangun tidur, merawat nenek, main hp sesekali, memasak, merawat, nonton/baca, lalu tidur lagi. Rutinitas monoton yg mulai terasa membosankan karena aku tidak bisa dengan bebas melakukan hal yg aku ingini. Semua dibatasi, aku ada di negri orang, ikut orang, merawat lansia. Passionku terasa makin menjauh. Hiks
Tapi betapa bersyukurnya aku yg masih menyimpan tekad untuk terus menggali potensi diri. Belajar dan terus belajar agar bisa menjadi pribadi yg lebih baik lagi, lebih produktif dan lebih dari sebelumnya. Meski aku tau didepan sana ada jutaan batu runcing yg siap menghadangku agar aku berbalik arah dan kembali ketempat semula. Tapi aku tidak mau kembali atau sekedar berdiri diam, aku harus bergerak maju menaklukan tantangan itu.
Aku masih punya tekad untuk menyelesaikan mini project yg sudah aku rencanakan beberapa tahun ini. Project rumahan yg sudah banyak orang lakukan (mungkin aku yg ketinggalan hehe), “sudut baca” untuk anak-anak ku. Aku ingin mengisi rumahku dengan banyak buku dan menjadikan baca buku sebagai rutinitas harian keluarga.
Seperti yg mba Rima Melanie ceritakan bahwa “Membaca membuka mata, membuka wawasan dan segudang manfaat lainnya”.
Dimana dizaman ini buku masih terus mempertahankan eksistensinya yg mulai digerus oleh canggihnya teknologi. (Sebenernya ini alasan saja sih) hehe. Aku memang sedari SMP sudah punya cita-cita punya home library. Sayangnya waktu itu harus gagal karena buku-buku yg aku kumpulkan tersapu banjir dan tidak ada yg bisa dibaca satupun. Semoga tekad kali ini bisa terwujud aamiin.
Ya, seperti inilah kisahku yg masih terus bertarung dengan diri sendiri. Terimakasih Institut Ibu Profesional yg memberikan wadah untuku berekspresi. Terimakasih sahabat Widyaiswara, kisahmu sungguh luar biasa 😍.
heffi novayanti
@umahappy
MasyaAllah mbak Heffi... Luar biasa. Dalam keadaan waktu yg mepet utk istirahat, masih bisa menyelesaikan tugas perkuliahan. Panjang kali lebar pula paparannya. Ah...bakat menulis mbak Heffi makin terasah dan makin kelihatan.
BalasHapusSmoga urusannya dimudahkan Allah ya mbak. Keep strong... ✊✊✊
Aamiin ya Allah,
HapusAlhamdulillah mba harus memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin.
I'm strong mba 💪🏻